Loading

Beberapa bulan belakangan ini, saya sering tiba-tiba mual. Pastinya bukan karena saya hamil. Lha wong saya sudah sangat lama berpantang. Ini juga bukan karena masuk angin. Saya sudah minum obat herbal minumannya orang pintar, juga sudah di-kop dan dikerokin, sama sekali nggak ada tanda-tanda masuk angin.

Saya baru sadar dan menemukan penyebabnya beberapa minggu yang lalu. Rupanya saya terlalu banyak mengkonsumsi hoax. Terlalu banyak berita tentang tanah air yang saya baca di internet. Portal-portal berita dan media-media sosial yang ada saling meng-hoax-kan satu sama lain. Mana yang benar? Saya bingung. Kepala saya pusing. Dan akhirnya jadi mual-mual itu tadi. 

Akhirnya saya mencoba puasa internet, puasa media sosial, dan hanya membaca berita dari media cetak nasional yang katanya termasuk media mainstream. Ajaib! Mual-mual saya hilang. Saya merasa segar dan sehat kembali. Berarti benar, mual saya adalah karena kebanyakan hoax.

Selama puasa internet itu, saya mengalihkan perhatian pada dunia yang serba analog. Saya telusuri rak buku saya, mencari buku yang belum pernah saya baca. Setelah sekian lama membaca berita maupun novel dari tablet, membaca kembali buku dalam wujud sebenarnya sungguh memberikan sensasi yang istimewa. 

Ketika menggerayangi buku-buku di rak itulah saya kemudian menemukan kembali tumpukan kartu pos lama, kiriman sahabat-sahabat pena saya sekian belas tahun lalu. Memori saya kembali ke masa indahnya saling berkirim kartu pos. Di sela-sela tumpukan kartu pos itu, saya juga menemukan beberapa lembar foto hitam putih yang saya cetak sendiri di kamar gelap. Kembali memori saya meloncat ke masa asyiknya bermain di kamar gelap.

Saya ingin sejenak kembali ke saat-saat itu. Saat di mana hidup terasa lebih bahagia, lebih mendalam, tidak balapan dengan cepatnya arus informasi. Saat hidup terasa lebih berisi, lebih bermakna, tidak sehambar hidup yang serba instant. 

Saya bangga telah menemukan kembali sebuah resep mujarab untuk mual-mual saya. Saya kemudian juga menyadari, itu bukan hanya resep mual, tetapi juga resep untuk tetap waras. Saya tidak mau menyimpannya sendiri. Saya ingin membagikannya juga untuk Anda. Resep saya itu adalah: lakukan lagi hobby lama Anda, yang mungkin telah tergerus oleh kejamnya dunia masa kini. Kalau saya, dua hal di bawah ini yang saya lakukan:

Kirim Kartu Pos

Memang kini sudah bukan zamannya lagi berkirim kartu pos. Sistem komunikasi itu telah tergantikan oleh email, SMS, dan sosial media. Namun, bagi saya, ada sebuah nilai dan pelajaran yang menarik dari berkirim kartu pos. Dunia digital seringkali tidak mampu menghantar orang untuk merasakan kedalaman rasa dalam berinteraksi dengan sesama. Kecepatan komunikasi di era internet ini tidak jarang membuat relasi dan komunikasi menjadi sekedar interaksi yang sambil lalu saja. 

Sebaliknya, melalui kartu pos, kita seolah bisa merasa kehadiran fisik dari teman-teman kita,  bukan hanya sekedar dalam wujud huruf-huruf di layar komputer atau ponsel. Dan lebih dari itu, yang paling menarik adalah perasaan harap-harap cemas yang timbul ketika kita menanti balasan kartu pos dari teman kita. Dag-dig-dug-nya itu boooooo…… Sensasional!

Nggak mau kirim ke teman-te man lama? Dengan berkirim kartu pos, kita juga bisa mendapat teman-teman baru dari seluruh Indonesia, bahkan dari seluruh dunia. Gabung aja dengan komunitas-komunitas online pecinta kartu pos, misalnya melalui postcrossing.com.

Pakai Kamera Analog

Satu lagi hobby lama saya adalah memotret dengan kamera analog, dan mencuci-cetak sendiri hasil jepretan saya. Kebetulan ada teman saya dulu punya kamar gelap sendiri di gudangnya, dan membolehkan saya untuk menggunakannya. 

Salah satu perilaku lucu pengguna kamera digital masa kini adalah chimping, yaitu kebiasaan melihat setiap gambar di layar LCD setiap kali selesai menjepret. Tapi memang itu kan fungsinya LCD? Yaitu supaya kita bisa melihat secara instant gambar yang baru kita jepret. Intip, kalau bagus kita senyum dan simpan. Kalau jelek, hapus dan jepret lagi. 

Hal itu tidak akan bisa kita rasakan dan alami ketika kita memakai kamera analog yang menggunakan roll film. Kita harus benar-benar selektif memilih obyek, tidak asal jeprat-jepret. Intinya, semua harus lebih terukur secara teliti dan detail sebelum kita menekan tombol shutter. Kita sungguh-sungguh 

Kita juga musti memiliki kesabaran tingkat tinggi dalam keseluruhan prosesnya. Kita harus menunggu sampai semua film satu roll habis, kemudian harus mengantar ke tukang cuci film, atau mencucinya sendiri kalau punya kamar gelap. Tapi justru di sinilah kenikmatannya. Ketika kita memotret tanpa melihat langsung hasilnya dan ketika memproses sendiri film di kamar gelap, kita merasakan sebuah rasa yang lain, yang lebih dalam, lebih menarik. Ada perasaan harap-harap cemas, dan kadang kita menemukan hal yang tak terduga.

Nggak tahu mulai dari mana? Sekarang banyak sekali komunitas-komunitas analog fotografi di banyak kota. Coba dehtanya sana-sini, cari informasi. Gabung dengan mereka, datang di event-event yang mereka adakan. Atau kalau bingung cari informasinya, coba kontak dr. Tompi. Dia juga hobby tuh motret dengan kamera film. Sapa tau aja diajak motret bareng, Syukur-syukur ketularan rejekinya juga, hehehehe……

Nah Saudara, ketika hidup terasa hambar, rutinitas terasa membosankan, tekhnologi yang supercepat terasa menjenuhkan, barangkali kembali kepada kekunoan dan sedikit melepaskan diri dari kekinian, bisa menyegarkan otak dan menjaga kewarasan kita. Anggap saja kembali ke hobby lama itu seperti orang yang hidup dan bekerja di kota besar, kemudian ingin mencari kesegaran dengan berlibur ke pedesaan. 

Okay. Ini ada beberapa kartu pos kosong di depan saya. Ada yang mau dikirimi? Ah, kamera analog saya juga masih ada rupanya. Saya mau cari yang masih jualan roll film dulu ah, mau motret lagi.