Mengapa seseorang sampai memutuskan untuk orang bunuh diri? Kalau Anda mencoba browsing, Anda akan menemukan banyak jawaban dan teori. Menurut pendapat saya (Anda boleh menambahkannya sebagai satu teori tambahan di samping banyak teori yang sudah ada, hehehehe), hanya ada 3 alasan.
Pertama, karena seseorang tidak bisa lagi menggunakan akal sehatnya, atau dengan kata lain, karena dia gila. Kedua, karena seseorang terlalu berpengharapan akan mendapat upah 72 bidadari di surga. Dan yang ketiga, karena seseorang kehilangan harapan.
Untuk alasan yang pertama, saya tidak mau ikut-ikutan campur tangan. Kalau Anda atau kenalan Anda menunjukkan gejala-gejala kegilaan, tak lagi bisa lagi berpikir lurus, sering nggak nyambung, sering berhalusinasi, atau semacamnya, saya sarankan segera kunjungi dokter jiwa atau daftarkan diri ke rumah sakit jiwa terdekat.
Untuk alasan yang kedua, saya usulkan Anda segera merekomendasikan siapa saja yang memberikan Anda harapan palsu itu untuk check-in juga ke rumah sakit jiwa terdekat. Kalau tidak, saya kuatir justru Anda yang akan mengalami satu di antara dua kemungkina ini: Anda mati tanpa ketemu 72 bidadari yang Anda harapkan, sementara si pemberi harapan palsu masih senang-senang menikmati indahnya bidadari-bidadari dunia ini, atau malahan Anda yang akan menghuni rumah sakit jiwa,
Untuk alasan yang ketiga, saya ingin mengajak Anda untuk melihatnya sedikit lebih dalam.
Ketika mendengar bahwa orang memilih bunuh diri karena tidak lagi punya harapan, atau istilah kerennya putus asa, saya jadi berpikir, betapa besarnya peran dan pengaruh harapan itu bagi hidup manusia.
Harapan menjadi inti kekuatan untuk hidup atau untuk bertahan hidup. Sesulit apa pun beban hidup yang harus dihadapi, orang akan tetap bertahan hidup karena adanya pengharapan akan hari esok yang cerah. Harapan memberi kekuatan.
Orang Romawi kuno memiliki semboyan: “Dum spiro, spero.” Selagi aku bernafas, aku berpengharapan. Pengharapan menjadikan nafas memiliki kekuatan. Pengharapan memberi arti dan makna bagi kehidupan. Sebaliknya, hilangnya pengharapan akan berarti hilangnya kehidupan. Putus asa berarti putus nyawa.
“Jika harapan sirna, maka secara aktual dan potensial, kehidupan pun musnah.”
Lalu, ketika banyak orang putus harapan, ketika harapan hidup semakin tipis, ketika orang lebih mencintai budaya kematian daripada budaya kehidupan, bagaimana kita dapat tetap berpengharapan?
Ada dua sikap yang sering muncul dari manusia ketika menghadapi peristiwa atau persoalan yang seolah tak ada harapan lagi untuk pemecahannya.
Pertama, orang menyalahkan Tuhan atau kehilangan Tuhannya. Orang mengeluh dengan berkata misalnya, “Tuhan, seandainya Engkau ada di sini, tentu …….”.
Atau sikap yang kedua, orang semakin pasrah dan percaya kepada Tuhannya. Orang percaya, bahwa bagi Tuhan, tidak ada sesuatu pun yang mustahil. Tidak ada kata terlambat untuk berpengharapan. Tidak ada kata terlambat untuk memulihkan kehidupan.
Sikap kedua inilah yang kita kenal dengan iman. Iman adalah keyakinan terhadap yang belum terjadi, pengetahuan akan kemungkinan real, dan kesadaran akan potensi. Iman pada dasarnya adalah harapan. Harapan berarti beriman secara penuh. Iman dan harapan dapat saling menggantikan.
Yang perlu kita catat baik-baik dalam kehidupan bersama, yaitu bahwa iman dapat saling menguatkan. Demikian pula, harapan dapat saling dibagikan. Maka, adalah menjadi tugas kita untuk menguatkan iman saudara kita yang lemah, dan memupuk harapan saudara kita yang sudah kehilangan harapan.
Berharap itu tidak semata-mata memiliki impian atau angan-angan akan hidup yang lebih baik di masa depan. Harapan selalu bersifat aktif, mengandung usaha dan kerja keras dalam mewujudkannya.
Jika orang hanya memiliki impian dan angan-angan tanpa usaha untuk mewujudkannya, maka orang semacam ini memperlihatkan ketidakberdayaan dan impotensi yang memuakkan, sebuah bentuk ketidakberdayaan dan keputusasaan yang menyamar dalam bentuk yang ketangguhan dan optimisme.
Oleh karena itu, jika kita berpengharapan akan suatu hal, kita harus secara aktif mengusahakannya dalam hidup. Berharap dan beriman berarti mau berusaha mempercayai Allah yang berkarya dalam hidup manusia saat ini. Berharap dan beriman tidak pernah berarti tidur dan bermimpi, melainkan bekerja dan berusaha dengan bantuan Tuhan dalam meraih cita-cita dan dalam mewujudkan dambaan.
Akhirnya, saya mengajak Saudara untuk tetap berharap selagi kita masih bernafas. Bukan hanya berharap, tetapi juga membawa pengharapan bagi dunia. Hati dan batin banyak orang mati karena mengalami situasi hidup yang menyedihkan, merasa tak mampu mengatasi aneka kesukaran yang dialami, kehilangan harapan, tak melihat terang dalam kegelapan dalam hidupnya. – Kita semua harus pula menyadari kebutuhan mutlak untuk bangkit kembali untuk hidup lagi penuh harapan.
Kita diundang secara aktif berusaha menjadikan hidup kita penuh arti dan makna dengan mewujudkan dunia yang adil dan berperikemanusiaan.